I-artikel


Tidak Ada Pertentangan Antara Akal yang Sehat Dan Nash yang Jelas


Oleh: Ruslan Zuardi Elbagani, Lc.


Akal adalah salah satu nikmat agung yang Allah berikan kepada  manusia. Nikmat yang bisa disebut anugrah ini menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan.

 

Sesungguhnya islam tidak pernah menuntut agar manusia mematikan akalnya, lalu percaya begitu saja dengan semua keyakinan dan syari'at yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya, akan tetapi islam sangat menghormati akal manusia dan menganjurkan untuk mengasah kemampuan berfikirnya.

 

Oleh karena itu, dalam banyak ayat, Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:

ﮙﮚ ﮛﮜﮝﮞﮠﮡﮢ ﮦﮧ ﮨﮩﮪ النحل: ١٢                                                              

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)

 

ﮟﮠ ﮡﮢ ﮣﮤﮥ ﮪﮫ ﮭﮮ ﮰﮱ ﯕﯖﯗ الرعد: ٤

Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”

(Ar-Ra’d: 4)

 

Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam firman-Nya:

ﯫﯬ   ﯯﯰ ﯲﯳ الملك: ١٠  

Dan mereka berkata: Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)

 

Sebagaimana nash juga merupakan nikmat besar yang Allah anugrahkan kepada umat manusia. Yaitu berupa nikmat Nash Al-Qur'an dan sunnah yang diciptakan Allah untuk mudah dipelajari dengan akal manusia. Seperti dalam firman Allah:

ﯤﯥﯦ ﯨﯩ القمر: ٢٢

 

"dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?"(Al-Qamr: 22 )     

 

Namun anugrah yang Allah berikan tersebut (akal sehat)tidak menjadikannya tanpa kendali karena bagaimanapun hebatnya akal manusia(siapapun dia) tetaplah tidak sempurna. Karena kalau memang sempurna lantas untuk apa Allah mengutus para Nabi dan Rasul dan menurunkan kitab-kitabNya.

 

Tidak Ada Pertentangan antara Akal Sehat dan Nash yang Jelas (shorih)

 

Setelah kita mengetahui akal yang sehat adalah nikmat, demikianpula halnya nash yang shohih dan jelas(shorih). Jadi sudah selayaknyalah keduanya tersebut saling bertautan dan melengkapi satu dan lainnya. Sudah pastilah akal yang sehat sesuai dengan nash yang jelas, tidak ada pertentangan diantara keduanya. Nash membimbing kearah mana akal kita berfikir dan akal yang memahami serta mencermatinya.

 

Lantas mengapa timbulnya fenomena yang menganggap bahwa nash yang diturunkan tidak sesuai dengan akal bahkan bertentangan?

 

Marilah bersama-sama kita menelaah hal tersebut.

 

Allah dan RasulNya menjadikan akal manusia berada dibawah syara', bilamana terdapat sebuah syari'at yang jelas maka akal harus tunduk kepadanya, meskipun dia tidak bisa untuk memikirkan hikmah dan latar belakang serta tujuan dari perintah yang ditetapkan oleh syara' tersebut. Kemudian harus dipahami bahwa akal dilarang untuk terjun dalam hal-hal yang berada diluar jangkauannya seperti dzat Allah dan sifatNya dan perkara-perkara yang ghaib.[1]

 

Kewajiban akal untuk tunduk pada syari'at, bukan berarti dipahami bahwa syari'at islam tidak selaras dengan akal, karena akal yang sehat berasal dari Allah dan syariat islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-sunnah pun dari Allah, maka sesuatu yang berasal dari Allah tidak mungkin saling bertentangan. Allah berfirman:

ﭿﮀ ﮁﮂﮃ ﮇﮈﮉ النساء: ٨٢

"Seandainya Al-Qur'an ini datang dari selain Allah, maka akan terjadi banyak perselisihan." (An-Nisa': 82)

 

Akal sehat tidak mungkin bertentangan dengan nash yang jelas (shorih) lagi shohih. Jikalau zhohirnya bertentangan maka ada kemungkinan akalnya yang tidak beres atau nashnya yang tidak jelas atau tidak shohih.

 

Adapun pemikiran-pemikiran yang muncul dari ahli-ahli kalam merupakan sebuah kekeliruan dan musibah. Mengapa demikian? Karena pemikiran tersebutlah yang memicu anggapan bahwa akal sehat bertentangan dengan nash yang jelas dan akallah yang selalu benar.

 

 

Prinsip dalam kaidah ahlul kalam adalah dimana-ringkasnya-"tatkala terjadi pertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal."[2]. Prinsip tersebut terang-terangan menolak sekian banyak nash jika sedikit saja nash itu dilihat menyelisihi akal.

 

Para ulama yang terdahulu maupun yang sekarang membantah dan meluruskan prinsip ahlul kalam ini, diantaranya perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah didalam kitabnya Dar'u Ta'arudh Al-Aqli Wa An-Naqli, "Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari syubhat tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.

Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.”[3]

 

Kekeliruan pendapat ahlul kalam itu juga diluruskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menuturkan:

 

"Yang benar, bahwa kitab Allah dan sunnah Rasulullah ج yang shohih tidak mungkin bertentangan dengan sebuah kenyataan yang langsung bisa dirasakan atau akal shohih dan jelas, apabila didapati sesuatu yang sepertinya bertentangan maka wajib untuk diketahui bahwa hal itu tidaklah benar dan pasti ada yang salah, dan kesalahan itu berasal dari keyakinan seseorang atau kejelekan pemahamannya karena dia menyangka sesuatu yang bukan sebuah kenyataan dianggapnya sebagai sebuah kenyataan, atau dia menyangka sebuah syubhat aqliyah sebagai sesuatu yang ditujukan oleh akal yang shohih dan shorih, atau dia menyangka sebuah hadits itu shohih ternyata tidak shohih atau mungkin dia salah memahami kitab Allah dan sunnah Rasulullah ج yang shohih.

Betapa banyak pencela ucapan yang benar

Sisi cacatnya adalah pemahaman yang salah.

Bukti dari semua ini banyak sekali, sebagaimana telah banyak diingatkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qoyyim dalam kitab-kitab mereka berdua.”[4]

 

 

 

Lalu bagaimana seandainya terjadi pertentangan antara nash dan akal? Apakah yang harus dilakukan?

 

Menjawab pertanyaan ini, kita kembali kepada permasalahan sebelumnya. Bahwasanya pertentangan akal dengan syariat tidak akan pernah terjadi manakala nashnya shahih dan jelas(sharih) dan akalnya sehat. Jika kita telah mengetahui nash tersebut sudah shahih dan sharih namun terdapat pertentangan maka bersegeralah mengintropeksi diri, mencurigai akal kita, sudah sehatkah akal kita? Sudah sampaikah akal kita untuk memahami dan memaknai nash tersebut?

 

Karena bisa jadi akal kita tidak memahami maksud nash yang kita pelajari tersebut atau akal kita belum mampu memahami masalah yang dibahas secara benar. Karena tentu saja nash tersebut pastilah benar. Untuk itu dalam mempelajari sebuah nash, kita memerlukan bimbingan dan rujukan dari para ulama yang telah membahas nash tersebut dengan baik dan benar.

 

Jika kita dihadapkan dengan permasalahan akal kita yang tidak sesuai dengan nash yang kita telaah namun kita belum menemukan rujukan dari ulama, maka ingat-ingatlah ajaran Al-Qur'an dan Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil serta anjuran dari para sahabat yang bersama Rasulullah dan menyaksikan jalannya turunnya wahyu.

 

Seperti beberapa perkataan ulama tentang hal ini,

 

Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”[5]

 

Dan perkataan bijak dari Abul Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah, beliau berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.[6]

 

Bahaya jika Akal dikedepankan dibanding Nash:

 

Sangatlah perlu diketahui bahaya jika akal dikedepankan dibandingkan nash agar kita dapat mewaspadai diri untuk tidak tergelincir dan berujung pada pemahaman yang sesat. Bahaya tersebut diantaranya:

 

1. Mempunyai sifat sombong yang menyerupai sifat Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.

ﭑﭒﭓ ﭔﭕﭖﭗ ﭙﭚ ﭛﭜ ﭞﭟﭠﭡﭢ الأعراف: ١٢

 Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)

 

Mereka sombong dan ujub, tidak memedomani dan membutuhkan ayat Allah dijelaskan dalam firman Allah:

ﭸﭹﭺ ﭻﭼ ﭿ ﮈﮉﮊﮋ ﮍﮎ ﮏﮐ ﮔﮕ ﮗﮘﮙﮚ الأعراف: ١٤٦

 

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaanKu. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya." (Al-A'raf: 146)

 

2. Enggan mengikuti serta menolak syari'at yang menyerupai sifat orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad. Mereka katakan dengan pongahnya:

ﮭﮮﮯﮰﮱ ﯓﯔﯕﯖﯗ الزخرف: ٣١

 Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)

 

3. Tidak mengikuti sunnah Rasulullah karena tidak merujuk kepadanya dalam perkara-perkara ketuhanan dan perkara syar'i lainnya. Tidak membutuhkan Rasul bahkan menolak ajarannya dengan mengedepankan akal diatas segalanya.

 

4. Dengan mudahnya mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa yang sesat karena sumber dari pengikutan hawa nafsu secara membabi buta adalah berasal dari akal yang tidak sehat. Ataupun mengalami ghurur yakni kecendrungan jiwa untuk mengikuti hawa nafsu dan hal yang disukai watak dasarnya, karena faktor syubhat dan tipuan dari syetan.

 

5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, dapat kita kaitkan pada poin keempat dimana jika akal didahulukan, hawa nafsu merajalela maka sangatlah jelas akan terjadi kerusakan di muka bumi ini.

 

6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya, sesat serta menyesatkan karena memahami dalil atau nash berdasarkan pemahaman akalnya semata yang dangkal tanpa merujuk pada pemahaman sebenar-benarnya. Ini adalah perbuatan yang sangat keji dan larangan yang teramat besar.

 

 

Sesuai dengan firman Allah:

ﭮﭯﭰﭱﭲﭳ الحج: ٨

 Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)

 

Dan

ﮫﮬ ﮰﮱﯓﯔﯕﯖﯗ ﯘﯙ ﯜﯝﯞ ﯟﯠﯡ ﯦﯧﯨﯩ النحل: ١١٦ - ١١٧

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: ini halal dan ini haram, untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih." (An-Nahl: 116-117)

 

Demikian pula dengan berkata atas nama Rasul dengan akal tanpa ilmu,

عن علياقال قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجْ النَّارَ

 

"Berkata Ali radiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Janganlah berdusta padaku. Karena barangsiapa berdusta padaku, maka hendaknya ia masuk neraka." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[7]

 

Artinya "jangan berdusta padaku" adalah jangan menisbatkan kedustakan kepadaku.

 

7. Menyebabkan perpecahan dan perbedaan pendapat dan saling menyalahkan karena mengedepankan akal yang tentu saja jika tidak dipedomani ilmu dan pemahaman yang benar maka akan memiliki pendapat yang berbeda-beda yang memuaskan akalnya masing-masing sehingga timbul perpecahan bergolong-golongan yang setiap golongan itu memiliki pendapat yang berbeda dan menganggap golongannya sendiri yang benar tanpa menelaah lebih lanjut sesuai dengan pemahaman nash yang benar sehingga berujung dengan sesat dan menyesatkan atau berujung pada keraguan yang tak berakhir.

 

Jalan yang kita tempuh jika terdapat ketidaksesuaian antara akal dan nash yang kita pelajari selain dengan kembali kepada nash yang shahih dan sharih serta mengintropeksi akal kita, kita juga harus mengambil sikap yang tepat. Karena penyebab dari ketegangan dan kesenjangan antara akal dan wahyu adalah kurangnya memahami otoritas dan kedudukan wahyu itu sendiri. Sikap yang kita ambil adalah mengambil jalan tengah yakni mempelajari nash dengan akal yang sehat yaitu akal yang tidak lari dari jalur fitrah(naluri baik) dan berpedoman pada pemahaman salafus shalih serta merujuk pada pendapat ulama yang mu'tabar.

 

Tidak seperti paham jabariyyah(fatalistik) yang cenderung menerima nash apa adanya tanpa mempelajarinya, dan jangan pula seperti paham qadariyyah(free will) yang mengedepankan peran manusia dalam kehidupan atau bebas berfikir diatas segala-galanya.

 

Untuk itu yang paling terpenting adalah ilmu. Dengan kehendak dan tekad yang bulat mempelajari ilmu agama secara terus menerus dan berkesinambungan. Sebagaimana menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim yang dipergunakan untuk memahami serta menyelesaikan masalah agama dengan mampu memahami maksud nash-nash yang diturunkan Allah tersebut secara benar. Seperti dalam firman Allah:

ﮣﮤﮥﮦ ﮩﮪﮫﮬ العنكبوت: ٤٣

"Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (Al-Ankabut: 43)

 

Serta Hadits Nabi tentang wajibnya menuntut ilmu:

عن أنس بن مالك قال : - قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( طلب العلم فريضة على كل مسلم

" Berkata Anas bin Malik: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (HR. Ibnu Majah).[8]

 

Ilmu yang dimaksud disini tentu saja adalah ilmu din (agama), yang wajib dituntut setiap muslim.

 

Dan Allah memberikan ganjaran yang besar bagi penuntut ilmu syar'I yakni dalam firmanNya:

ﰋﰌﰍ ﰎﰏ المجادلة: ١١

"Niscahaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu(agama) beberapa derajat." (Al-Mujadilah: 11)

 

Jadi dapat disimpulkan, hal yang harus dilakukan untuk mengatasi pertentangan akal dan nash, dengan menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai orientasi awal dan akhir dari pengambilan keputusan. Jika terdapat pertentangan antara akal dan nash, maka bersegeralah meninggalkan pemahaman akal dan mengambil nash sebagai pedoman kemudian menuduh salah terhadap akal, karena nash(yang shohih dan shorih) sudah pasti benar. Dan membersihkan akal dari virus syubhat dan syahwat serta mentarbiyah akal dengan menuntut ilmu agama dari sumber yang jelas sesuai dengan salafus shalih.

 

 

 

 

 

 

 

Sumber:

1. Al-Qur'an Al-Karim dan terjemahannya.

2. Shahih Al-Bukhari cet: Dar thuqunnajah.

3. Sunan Ibnu Majah cet: Darulfikar.

4. Asasuttaqdis karya Arrazi cet: Maktabah Al-Kulliyat Al- Azhariyah-Kairo-th:1986  M.

5. Mukhtasar As-shawa'iq Al-Mursalah karya Muhammad Al-Muushili, cet:Dar An-Napwah Al-Jadidah-th:1985  M.

6. Al-Intishar li ahlil hadits karya Abu Al-Muzhofar As-sam'ani, cet: Maktabah Adwa Al-Manar-th:1996  M.

7. Dar'u Ta'arudh Al-Aqli wa An Naqli karya Ibnu Taimiyah, cet: Dar Al-Adabiyah-Riyadh-th: 1391 H.

8. As-Shawa'iq Al-Mursalah, cet: Dar Al-Ashimah-th: 1998 M.

9. Al-Ittijahat Al-Aqlaniyah Al-Haditsah karya Nashir bin Abdil Karim, cet: Dar Al-Fadilah –th: 2001 M.

10. Majmu' Fatawa wal Maqolat Al-Mutanawwi'ah karya Abdul Aziz bin Baz, cet: Ar-Ri'asah Idaroh Al-Buhuts-Riyadh-th: 1421 H.

 

 

 

 

 

 

 




[1]Lihat Al-Ittijahat Al-Aqlaniyah Al-Haditsah Hal. 28-32
[2]Asasuttaqdis, hal. 220-221
[3]Dar'u Ta'arudh Al-Aqli Wa An-Naqli 1/83-84
[4]Majmu' Fatawa wa Maqolat Mutannawi'ah 1/266
[5]Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83
[6]Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 44-45
                                          [7]HR. Al-Bukhari(106)dan Muslim(1)
[8]HR. Ibnu Majah(222)

1 komentar:

  1. selamat membaca dan jangan lupa untuk sejenak menulis kokentar anda..

    BalasHapus